Zenkichi berbeda dengan yang lain. Setelah tiba di rumah, dia meletakkan tasnya. Dia tidak bisa pergi keluar untuk berlari dan bermain dengan bebas bersama teman-temannya. Hal yang harus dilakukannya adalah membantu menjaga adik laki-lakinya dengan menggendongnya di punggungnya. Dengan samar-samar, Zenkichi bisa memperhatikan anak-anak yang seumuran dengannya sedang bermain di sekitar pinggiran sungai, bersembunyi dibalik pohon teh, dan melompati selokan dengan gembiranya. Permainan tersebut terlihat menyenangkan. “Aku juga ingin bisa bermain seperti itu,” pikir Zenkichi dalam hatinya.
Bagaimanapun, Zenkichi sering berpikir untuk melarikan diri dari tanggung jawabnya. Dia ingin bisa bermain dengan bebas setelah pulang sekolah. Namun, ketika dia bisa bermain bersama teman-temannya, dia akan segera ketahuan dan dipanggil untuk kembali pulang ke rumah.
Ibunya pun mulai memarahi Zenkichi, “Kalau kamu tidak bisa mendengarkan perkataan orang tuamu, kamu akan diusir dari sini.”
“Aku tidak mau pergi,” bantah Zenkichi.
“Tidak, kamu akan tetap diusir. Sejujurnya, anak sepertimu yang tidak bisa mendengarkan perkataan orang tuanya, memang bukan anakku.”
“Kalau begitu, aku ini anak siapa?”
“Anak siapa juga tidak tau. Kamu sebenarnya bukan anak keluarga ini. Saat aku menemukanmu, kamu masih kecil. Kamu hanya anak terlantar yang kami kasihanin, jadi kami pungut dan rawat.”
Zenkichi yang mendengarnya mulai merasa sedih. Dia pun mulai menangis dengan terisak-isak, sembari bertanya-tanya dalam hatinya, “Apakah aku memang tidak dilahirkan di keluarga ini melainkan diangkat sebagai anak?”
Meskipun dalam keadaan sedih, dia masih mau mendengarkan ibunya dan kembali membantu pekerjaan rumah. Namun, setiap kali Zenkichi mendengar suara dan tawa gembira anak-anak lain, dia merindukan dunia yang luas dan bebas di luar sana.
Pada suatu hari, ketika sedang memanjat pohon, Zenkichi dapat melakukannya dengan sangat baik. Dalam hal sumo atau lari, Zenkichi memang tidak pandai, tetapi dia yakin bahwa saat memanjat pohon dirinya tidak akan terkalahkan.
Zenkichi melihat anak-anak lainnya ketakutan karena tidak pandai dalam memanjat pohon, anak-anak itu memegang dahan-dahan pohon yang rendah. Dia pun terus memanjat semakin tinggi ke atas dengan penuh semangat. Saat dia melihat ke bawah, anak-anak tersebut masih tertinggal jauh di bawah dan tidak bisa melanjutkan. Zenkichi tidak dapat menahan rasa bahagianya melebihi siapa pun ketika menyadari apa yang terjadi terhadap anak-anak yang lain.
Zenkichi sudah berdiri di puncak pohon tinggi itu, mengagumi keindahan lautan yang dilihatnya, dia mulai berseru, “Teman-teman, jika kalian naik ke atas sini, kalian bisa melihat lautan, loh!”
Saat dia menengok ke bawah, teman-temannya terlihat begitu kecil.
“Zen-chan, apa kamu serius? Benarkah kamu bisa melihat lautan?” tanya temannya dengan rasa ingin tau.
“Aku tidak berbohong, dari sini kamu juga bisa melihat kota. Pemandangannya benar-benar menakjubkan,” jawab Zenkichi dengan penuh rasa bangga.
Anak-anak yang masih di bawah menatap Zenkichi dengan rasa iri karena takjub. Mereka yang sudah sampai di tengah pohon, mulai berpikir untuk menyerah dan segera turun. Salah satu temannya yang tidak bisa mengalahkan Zenkichi dan berharap Zenkichi segera turun dari atas mulai berseru, “Zen-chan, kalau kamu terjatuh dari pohon setinggi itu kamu bisa mati loh.”
Mendengar seruan temannya, Zenkichi justru menjadi lebih bangga karena tidak ada yang bisa memanjat pohon tinggi sampai ke puncak selain dirinya sendiri.
“Aku bisa melihat lautan dengan jelas. Wah, ada kereta yang lewat! Keretanya sedang memasuki jalan di balik hutan… Ah, itu dia muncul lagi! Aku bisa melihatnya. Apakah yang di sana stasiun keretanya?”
Mendengar keseruan Zenkichi, satu per satu anak di bawah mulai merasa semakin iri terhadapnya.
“Cepatlah turun Zen-chan. Kita bermainnya di bawah sini saja,” pinta temannya.
Menanggapi panggilan temannya, Zenkichi dengan tenang turun perlahan-lahan. Sesampainya di bawah, Zenkichi mulai menceritakan semua pemandangan yang dilihatnya dari puncak pohon tinggi tadi. Sebuah cerita yang hanya diketahui dirinya sendiri.
Sayangnya, dari jauh terdengar suara Ibunya memanggil Zenkichi. Seketika wajahnya yang cerah berubah murung. Dengan perasaan enggan, Zenkichi berkata kepada teman-temannya, “Hm, sepertinya aku harus segera pulang dan mengurus adikku. Mari kita sudahi permainan kita hari ini."
-Bagian 1 Selesai-
Catatan: Cerita di atas diterjemahkan dari karya Ogawa Mimei yang berjudul Takai Ki to Kodomo no Hanashi. Aku hanya membagikan terjemahan bagian 1 dari cerita pendek tersebut. Aslinya, cerita ini memiliki 4 bagian.
Terima kasih telah membaca sampai akhir!